Meski sudah banyak diposting di blog
lain, tapi sepenggal kisah pemulung berikut cukup layak menjadi bacaan
dan sarana instropeksi diri. Mereka butuh uluran tangan untuk ikut
sejahtera seperti kebanyakan orang, bukan suguhan kata2 bijak dari
Maestro manapun!. Selamat membaca.
Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor
dengan menggunakan jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa
turun dari kereta, lantas dibawa ke Kantor Polisi karena dicurigai si
anak adalah korban kejahatan.
Tapi dikantor Polisi, Supriono
mengatakan si anak tewas karena penyakit Muntaber. Polisi belum langsung
percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diotopsi.
Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang Muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi.
"Saya hanya sekali bawa
Khaerunisa ke Puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke
Puskesmas, meski biaya hanya Rp.4000,- saya hanya pemulung kardus, gelas
dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp.10.000,- per hari". Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal dikolong perlintasan rel KA(Kereta Api) di Cikini itu.
Supriono hanya bisa berharap
Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang
masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 tahun), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.
Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07:00WIB.
Khaerunisa meninggal di depan
sang ayah dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, disela sela
kardus yang bau.Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya.
Supriono dan Muriski termangu.
Uang di saku tinggal Rp.6000,- tak cukup beli kain kafan untuk
membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus membawa
ambulan.
Khaerunisa masih terbaring di
gerobak. Supriono mengajak Muriski berjalan menyorong gerobak berisikan
mayat itu dari Manggarai hingga Stasiun Tebet, Supriono berniat
menguburkan anaknya di Kampung Pemulung di Kramat, Bogor.
Ia berharap disana bisa
mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.Pukul 10:00 yang mulai terik,
gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet.
Yang tersisa hanyalah sarung
kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. kepala mayat
anak yang tercinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau
Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik.
Dengan menggandeng si sulung
yang berusia 6 tahun, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun.
Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri
Supriono dan menanyakan anaknya.
Lalu dijelaskan oleh Supriono
bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor, spontan
penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan
Supriono langsung dibawa ke kantor Polisi Tebet.
Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulan hitam.
Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.
Tapi dia hanya bisa tersandar
ditembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM sambil
memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku.
Hingga saat itu Muriski sang
kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meinggal masih terus
bermain sesekali memegang tubuh adiknya.
Pukul 16:00, akhirnya petugas
RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi karena tidak punya uang
untuk menyewa ambulan, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat
Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski.
Beberapa warga yang iba
memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para
pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasanuntuk bekal Supriono
dan Muriski di perjalanan.
Psikolog Sartono Mukadis
menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan
peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat
pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar