BAGAIMANAKAH JILBAB / CADAR MENURUT AGAMA YAHUDI, KRISTEN, HINDU, BUDDHA ? | BAGAIMANAKAH JILBAB / CADAR MENURUT JIL DAN AJARAN KEJAWEN?
Pada
akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 ini, pemakaian jilbab semakin
semarak di dunia Islam, terutama di Indonesia. Meskipun demikian,
praktek berjilbab masih mengundang kontroversi di sejumlah negara di
Barat, seperti Perancis, Inggris, dan Amerika. Di negara-negara
tersebut jilbab dianggap sebagai pakaian kuno yang akan mengekang
kebebasan kaum wanita dan menghambat kemajuan umat Islam. Dalam konteks
ini, jilbab selalu dikaitkan dengan persoalan politik dan ideologi.
Padahal kewajiban berjilbab bukan monopoli ajaran Islam tetapi juga
ditetapkan dalam tradisi sebelum Islam. Murtadha Muthahhari menyatakan
bahwa hijab dan kain kerudung sudah ada di tengah-tengah sebagian kaum
sebelum Islam. Penduduk Iran tempo dulu, kelompok-kelompok Yahudi, dan
juga bangsa India merupakan bangsa pemakai jilbab. Jilbab juga
digunakan sebagai pakaian yang terhormat oleh kaum wanita Zaroaster,
Hindu, Yahudi, dan Kristen.
Tulisan
ini akan mencoba mengulas praktek berjilbab menurut Yahudi,
Nasrani, Hindu, Buddha, Kejawen, dan JIL. Mengulas tema ini penting
untuk memahami sejumlah pandangan stereotipikal tentang jilbab yang
diidentifikasi sebagat produk budaya Arab, anti-kemajuan,
simbol kebodohan, terorisme, dan sebagainya. Berkaitan dengan
pandangan stereotipikal ini, Zahra Rahnavard mengingatkan kaum wanita
untuk menyadari bahwa larangan berjilbab adalah senjata paling ampuh
untuk merendahkan dan menghinakan kaum wanita. ["Pesan Pemberontakan
Hijab Jerit Hati Wanita Muslimah, Zahra Rahnavard,(Bogor: Cahaya,
2003), cet. Ke-I, h.22].
JILBAB MENURUT AJARAN YAHUDI
Anjuran memakai jilbab/cadar bagi kaum Yahudi:
Talmud Yahudi menyatakan:
"Apabila
seorang wanita melanggar syariat Talmud, seperti keluar ke
tengah-tengah masyarakat tanpa mengenakan kerudung atau berceloteh di
jalan umum atau asyik mengobrol bersama laki-laki dari kelas apa
pun, atau bersuara keras di rumahnya sehingga terdengar oleh
tetangga-tetangganya, maka dalam keadaan seperti itu suaminya
boleh menceraikannya tanpa membayar mahar padanya." ["Al Hijab",
Abul A'la Maududi, h. 6].
Seorang
pemuka agama Yahudi, Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur
Injil pada Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in
Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat
bepergian keluar rumah yaitu mengenakan penutup kepala yang terkadang
bahkan harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan sebelah
mata saja. Dalam bukunya tersebut ia mengutip pernyataan beberapa
Rabbi (pendeta Yahudi) kuno yang terkenal: “Bukanlah layaknya anak-anak
perempuan Israel yang berjalan keluar tanpa penutup kepala” dan
“Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut istrinya terlihat,” dan
“Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa
kemelaratan.” [Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi Islam, Yahudi, dan
Kristen, Sherif Abdel Azeem, (Yogyakarta: Gama Media,
2001), cet. Ke-2, h.74].
Kerudung
juga menyimbolkan kondisi yang membedakan status dan kemewahan yang
dimiliki wanita yang menge-nakannya. Kerudung kepala menandakan
martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi.
Oleh
karena itu di masyarakat Yahudi kuno, pelacur-pelacur tidak
diperbolehkan menutup kepalanya. Tetapi pelacur-pelacur sering memakai
penutup kepala agar mereka lebih dihormati (S.W.Schneider, 1984, hal
237).
Wanita-wanita
Yahudi di Eropa menggunakan kerudung sampai abad ke 19 hingga mereka
bercampur baur dengan budaya sekuler. Dewasa ini, wanita-wanita Yahudi
yang shalih tidak pernah memakai penutup kepala kecuali bila mereka
mengunjungi sinagog (gereja Yahudi).[S.W.Schneider, 1984, hal.
238-239].
Dalam
Hukum Rabi Yahudi, wanita Yahudi yang sudah bersuami dan tidak
berjilbab dipandang sebagai wanita yang tidak terhormat. Hukum
Rabi Yahudi juga melarang pembacaan dan doa di depan wanita yang sudah
menikah tanpa menutup kepala dengan kerudung karena wanita yang membuka
rambutnya itu dianggap sebagai wanita telanjang. Wanita ini bahkan
dianggap sebagai wanita yang merusak kerendahan hatinya dan didenda
dengan empat ratus zuzim karena pelanggarannya.[ibid, h. 74-75]
Syariat
jilbab Yahudi yang ditetapkan oleh hukum Rabi maupun kitab Talmud yang
diimani oleh kaum Yahudi setelah kitab
Taurat, menekankan kepada kaum wanita untuk mentaati dan
mengamalkannya. Bahkan ketika wanita Yahudi keluar rumah dan tidak
memakai jilbab, maka laki-laki yang melihatnya harus menegurnya untuk
berjilbab. Kalau laki-laki itu membiarkannya, maka ia terkutuk. Begitu
pula para suami kepada istri-istrinya. Karena itu, dapat
dikatakan berjilbab merupakan syariat yang harus ditegakkan dalam
kehidupan Yahudi.
Jilbab
yang dipakai oleh kaum wanita Yahudi bukan saja sebagai syariat
yang harus ditaati, namun juga sebagai lambang kemewahan,
kewibawaan, dan mahalnya harga wanita yang suci, serta menunjukkan
status sosial yang terhormat. Hal ini ditegaskan oleh Menachem M.
Brayer bahwa jilbab wanita Yahudi tidak selamanya dianggap
sebagai tanda kesederhanaan atau kerendahan hati, melainkan juga
simbol keistimewaan dan kemewahan, kewibawaan dan superioritas wanita
bangsawan, serta menggambarkan mahalnya harga wanita sebagai milik
suami yang suci, di samping sebagai harga diri dan status sosial
seorang wanita. [ibid, h. 75].
Pernyataan
di atas juga memberikan kesan kuat bahwa jilbab telah dikenakan oleh
wanita-wanita sebelum kaum Yahudi, karena jilbab merupakan aturan Tuhan
yang diperintahkan kepada para istri-istri Nabi. Jilbab yang
dipraktekkan oleh kaum wanita Yahudi tersebut masih bertahan sampai
saat ini bahkan wanita-wanita yang berada di Eropa masih
mempertahankan pemakaian jilbab sampai abad ke-19 ketika
kehidupan wanita sudah mulai bercampur dengan kebudayaan
sekuler.' wanita-wanita Yahudi di Eropa masih mempertahankan tradisi
untuk selalu menutup kepalanya supaya tidak terlihat rambutnya dengan
wig. Namun wanita-wanita Yahudi yang ada di Timur Tengah masih
menggunakan jilbabnya dikala mau keluar rumah maupun beribadah
kepada Tuhan di Sinagoge. Berarti syariat jilbab mau dipraktekkan
dikalangan kaum wanita Yahudi sebagai ketaatan kepada aturan syariat
Talmud dan hukum Rabi Yahudi.
Jilbab
yang ditekankan oleh syariat Talmud dan hukum Rabi begitu keras dan
tegas kepada kaum wanita Yahudi. Akan tetapi di sisi lain, ada syariat
Talmud dan aturan hukum para Rabi Yahudi yang begitu menghinakan kaum
wanita, seperti diperbolehkannya para wanita untuk menjadi pelacur demi
kemenangan kaum Yahudi. Dinyatakan oleh Rabbi Tam bahwa
berzina dengan orang non-Yahudi, baik laki-laki maupun perempuan,
tidak ada hukumnya, karena orang-orang asing adalah keturunan hewan.
[Talmud Kitab Hitam Yahudi Yang Menggemparkan, Muhammad
Asy-Syarqawi,(Jatiwaringin: Sahara, 2004), cet. Ke-1, h. 234].
Ungkapan Rabi Yahudi ini berarti membolehkan pelacuran dan perbuatan perzinahan bagi kaum wanitanya.
JILBAB MENURUT AJARAN NASRANI
Anjuran memakai jilbab/cadar bagi kaum Nasrani:
-
"...Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan
kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan
perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau
menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya.
Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting
atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki
tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan
Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab
laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari
laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi
perempuan diciptakan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus
memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat. Namun
demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada
laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari
laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan
segala sesuatu berasal dari Allah. Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah
perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?
Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu, bahwa adalah kehinaan bagi
laki-laki, jika ia berambut panjang, tetapi bahwa adalah kehormatan
bagi perempuan, jika ia berambut panjang? Sebab rambut diberikan kepada
perempuan untuk menjadi penudung..."
(Korintus 11: 5-15).
-
"...Menjelang senja Ishak sedang keluar untuk berjalan-jalan di
padang. Ia melayangkan pandangnya, maka dilihatnyalah ada unta-unta
datang. Ribka juga melayangkan pandangnya dan ketika dilihatnya Ishak,
turunlah ia dari untanya. Katanya kepada hamba itu: "Siapakah laki-laki
itu yang berjalan di padang ke arah kita?" Jawab hamba itu: "Dialah
tuanku itu." Lalu Ribka mengambil telekungnya dan bertelekunglah ia."
(Genesis/Kejadian 24: 63-65)
Berjilbab
dalam tradisi Kristen tidak jauh berbeda dengan tradsi Yahudi.
Wanita-wanita di sekitar Yesus kristus berjilbab atau berkerudung
sesuai dengan praktek wanita-wanita di sekitar para Nabi terdahulu.
Pakaian mereka longgar dan menutupi tubuh mereka sepenuhnya. Mereka
juga berjilbab untuk menutupi rambutnya. Hal itu berarti bahwa
wanita-wanita kristen yang berjilbab merupakan tanda ketaatan kepada
Tuhan. Tradisi berjilbab ini bahkan sudah lama dipraktekkan oleh para
Biarawati katolik selama ratusan tahun. ["Sabda Langit Perempuan dalam
Tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen", Sherif Abdel Azeem, (Yogyakarta:
Gama Media, 2001), cet. Ke-2, h.76].
Menutup
kepala atau berjilbab yang dilakukan oleh para Biarawati Katolik itu
sampai kini masih diberlakukan. Namun, wanita-wanita kristen saat ini,
baik yang ada di Eropa atau Barat, dan termasuk di Indonesia, tidak
memakai jilbab atau menutup kepalanya, walaupun Santo Paulus telah
mengingatkan kepada jemaatnya untuk memakai kerudung atau berjilbab.
Menurut
St. Paulus, menutup kepala bagi wanita itu sebagai simbol otoritas
laki-laki yang merupakan bayangan dan keagungan Tuhan, karena
wanita diciptakan dari laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki
pula. [Kitab I Korintus, 11: 7-9]
Begitu
pula St.Tertullian menyatakan bahwa wanita muda harus memakai kerudung
ketika ia mau pergi ke jalan. Oleh karenanya, wanita diwajibkan untuk
memakai jilbab ketika di Gereja dan ketika berada di antara
orang-orang yang tidak dikenal. ["Sabda Langit Perempuan dalam Tradisi
Islam, Yahudi, dan Kristen", Sherif Abdel Azeem, (Yogyakarta: Gama
Media, 2001), cet. Ke-2, h.76-77].
Dalam
kaitan ini, Abu Ameenah Bilal Philips menegaskan bahwa dalam kanon
Gereja katolik terdapat artikel hukum yang mewajibkan
wanita untuk menutup kepala mereka saat berada di Gereja. Bahkan
sekte-sekte Kristen, seperti kaum Amish dan Mennonite memelihara
kerudung bagi kaum wanitanya hingga saat ini.["Agama Yesus Yang
Sebenarnya", Abu Ameenah Bilal Philips,(Jakarta: Pustaka Dai,
2004), h. 179].
Namun wanita kristen yang berada di Barat atau di Eropa, atau juga di Indonesia sudah
menanggalkan
jilbabnya. Bahkan saat datang ke Gereja pada setiap hari minggu tidak
terlihat jemaat wanitanya memakai jilbab atau kerudung. Berjilbab
dalam kristen ternyata sudah dipraktekkan oleh Ibu Yesus kristus
atau Bunda Maria, seperti terlihat dalam gambar-gambar Bunda Maria
yang memakai jilbab. St. Paulus menekankan kepada wanita Kristen untuk
berjilbab karena termasuk wanita yang mulia dan terhormat. Apalagi
Bunda Maria sebagai ibu Yesus yang suci dan dimuliakan Tuhan.
JILBAB MENURUT AJARAN HINDU
Anjuran memakai jilbab/cadar bagi kaum Hindu:
-
"Ketika Brahma berpapasan, ketika Brahma memilihkan anda seorang
perempuan, kalian hendaknya menundukkan pandangan, tidak boleh
memandang. Anda harus menyembunyikan pergelangan anda, dan tidak boleh
memperlihatkan apa yang dipergelangan anda." [Rigveda Book 8 Hymn 33
Verses 19].
-
"Orang tidak boleh senonoh, apabila seorang suami mengenakan pakaian
istrinya, tidak boleh mengenakan pakaian lawan jenis." [Rigveda Book 10
Hym 85 Verses 30].
-
"Rama berkata kepada Shinta, dia memerintahkan agar menundukkan
pandangan dan mengenakan kerudung." [Mahavir Charitra Act 2 Page 71].
Hal
yang sama juga dilakukan dalam tradisi orang-orang India yang sebagian
besar penganut ajaran Hindu. Pakaian yang panjang sampai menyentuh
mata kaki dengan kerudung menutupi kepala adalah pakaian khas yang
dipakai sehari-hari. [http://cdn-u.kaskus.us/34/pemwid9a.jpg].
JILBAB/CADAR MENURUT AJARAN BUDDHA
Anjuran memakai jilbab/cadar bagi kaum Buddha:
Pada
masa Sang Buddha beberapa wanita memakai cadar walaupun lebih sebagai
[pelindung] yang sama dengan topi daripada untuk menutupi wajah. Namun
sekitar awal milenium pertama, cadar mulai dianggap sebagai hal yang
sepantasnya bagi wanita kelas atas dan mereka yang berada dalam rumah
tangga kerajaan untuk menutupi diri mereka dengan cadar. Ini merupakan
awal dari apa yang disebut purdah, pengasingan para wanita dari
khalayak ramai, sebuah trend yang menjadi lebih tersebar luas di India
dengan diperkenalkannya agama Islam pada abad ke-13. Para wanita desa
di India masih menarik kain sari mereka menutupi wajah mereka di
hadapan pria yang tidak ada hubungan dengan mereka.
Lalitavistara
[Sutra], sebuah kisah kehidupan Sang Buddha yang fantastis yang
disusun sekitar abad pertama SM dan abad ke-3 M, mengandung kisah yang
menarik berkenaan dengan masalah wanita memakai cadar. Berdasarkan
karya ini, setelah Yasodhara terpilih menjadi istri Pangeran
Siddhartha, orang-orang mengkritiknya karena tidak menutupi dirinya
dengan cadar di hadapan ayah dan ibu mertuanya. Ini dianggap sebagai
tanda ketidaksopanan dan ketidaksetiaan"
Lalitavistara menggambarkan wanita muda tersebut mempertahankan dirinya dalam kata-kata berikut:
“Mereka
yang terkendali dalam perbuatan dan perilaku, baik dalam tutur kata,
dengan indera-indera terkendali, tenang dan damai, mengapa mereka harus
menutupi wajah mereka? Bahkan jika ditutupi dengan seribu cadar, jika
mereka tidak tahu malu dan tidak sopan, tidak jujur dan tidak memiliki
kebajikan, mereka hidup di dunia ini dengan tidak tertutupi dan tidak
terlindungi. Bahkan tanpa ditutupi cadar jika indera-indera dan pikiran
mereka terjaga dengan baik, mereka setia pada satu suami, tidak pernah
berpikir tentang [pria] yang lain, mereka bersinar bagaikan matahari
dan rembulan. Jadi mengapa mereka harus menutupi wajah mereka?
Orang-orang bijaksana yang [dapat] membaca pikiran orang lain
mengetahui maksudku seperti juga para dewa mengetahui perilaku dan
kebajikanku, ketaatan dan kesopananku, Oleh sebab itu, mengapa aku
harus menutupi wajahku?”
Walaupun
kisah ini diragukan kebenarannya (apocryphal), ini sesuai dengan
pandangan Sang Buddha bahwa hal-hal psikologis dan internal lebih
penting daripada hal-hal material dan eksternal.
[http://sdhammika.blogspot.com/2011/01/veils-and-veiling-buddhist-view.html]
Dewi
Kwan Im (Avalokitesvara Bodhisattva) , yang dikenal sebagai Buddha
dengan 20 ajaran welas asih, juga digambarkan memakai pakaian suci yang
panjang menutup seluruh tubuh dengan kerudung berwarna putih menutup
kepala.
[http://artikelunik.com/wp-content/uploads/2010/04/kwan_yin.jpg].
Kewajiban
memakai jilbab bagi kaum wanita bukan monopoli tradisi Islam. Memakai
jilbab juga bagian dari tradisi keagamaan Yahudi, Nasrani, Hindu
dan Buddha. Dalam tradisi Yahudi, jilbab merupakan simbol
ketaatan dan kehormatan wanita terhadap suaminya, bentuk ibadah kepada
Tuhan, lambang kemewahan, kewibawaan, kebangsawanan, dan kesucian
wanita. Meskipun prakteknya tidak ideal, kewajiban memakai jilbab
dalam tradisi kristen tercermin dalam ungkapan St. Paulus yang
menyatakan bahwa wanita yang tidak berjilbab maka harus dicukur
rambutnya sampai botak karena dianggap telah menghina suaminya. Islam
menegaskan bahwa kaum wanita diwajibkan untuk berjilbab dan
berpakaian yang sopan dan terhormat, tidak tipis dan ketat yang bisa
menimbulkan rangsangan birahi dan fitnah. Jilbab dalam Islam tidak
mengekang dan membuat wanita menjadi terbelakang melainkan wanita
menjadi terjaga kesucian dan kehormatannya, terjaga keamanan dan
kemuliaannya. Jadi, wanita muslimah yang berjilbab berarti
membumikan syariat Ilahi dalam kehidupannya sehingga menimbulkan
kepribadian yang tangguh dan jati diri wanita yang shalihah.
Lain
halnya dengan ajaran Kejawen dan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang
mana mereka mengatakan bahwa jilbab adalah tidak wajib dan merupakan
budaya arab.
JILBAB MENURUT AJARAN KEJAWEN
Jilbab Dilarang Masuk Keraton Yogyakarta:
Yogyakarta
- Informasi cara berpakaian yang diperbolehkan masuk Keraton bagi para
wartawan simpang-siur. Salah satunya pengenaan jilbab yang semula
diperbolehkan masuk Keraton, ternyata direvisi oleh tim media center.
“Bukan
jilbabnya yang tidak boleh, tetapi karena ini kegiatan adat istiadat,
maka semua wartawan harus bersanggul," kata Haris Djauhari, salah satu
anggota tim media center, kepada Tempo, Minggu, 16 Oktober 2011 malam.
"Jadi, tidak boleh mengenakan jilbab.”
Meski
tidak diperbolehkan, informasi ini tidak disampaikan melalui
pengumuman resmi, tetapi pendekatan personal. Pun demikian dengan
larangan memakai kebaya brokat. “Kebaya brokat besok jangan dipakai ya,
pakai kain kartini saja, bukan brokat,” kata Haris. Motif brokat yang
bolong-bolong memang memperlihatkan bagian tubuh. Sementara kalau
menggunakan kain tanpa motif brokat, seluruh tubuh tertutup rapat.
Kebiasaan
di Keraton, selama ada kegiatan adat istiadat selama ini memang tak
memperkenankan jilbab masuk Keraton. Contohnya, sungkeman pada perayaan
Idul Fitri atau ngabekten. Untuk perempuannya mengenakan sanggul dan
kebaya. Jadi, meskipun para pejabat mengenakan jilbab di pemerintahan,
mereka melepaskan jilbab dan menggantinya dengan sanggul. Namun selama
Tempo meliput acara di Keraton Kilen, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono
X sedang mengumumkan sesuatu yang tak berkaitan dengan adat istiadat,
beberapa wartawan yang mengenakan jilbab tetap bisa masuk Keraton
Kilen.
Tidak
satu pintunya informasi ini menyebabkan peliputan tak seragam, khusus
untuk wartawan putrinya. Ada yang tidak mengenakan sanggul, ada yang
cuma dikuncir, ada pula yang make up lengkap dengan sanggul karena di
tata tertib bagi wartawan memang mengumumkan hal itu. Obrolan para
wartawan pun akhirnya melebar kepada penyewaan kebaya yang sulit
dicari. Mahalnya ongkos make up, sanggul, dan pengenaan kebaya. Seorang
wartawan NHK Jepang, misalnya, mengatakan karena tak bisa mengenakan
kebaya dan sanggul, dia terpaksa mengambil paket seharga Rp 125.000.
“Mahal juga ya,” katanya sembari tertawa.
Seorang
wartawan Jerman kesulitan mencari kebaya karena ukuran tubuhnya yang
jumbo. Seorang pemilik salon di kawasan Gejayan, Puri, mengaku sudah
mencari pinjaman ke mana-mana, tetapi tidak juga menemukan kebaya yang
dimaksud. “Wah, saya ikut bingung,” ujarnya. [BERNADA RURIT
TEMPOINTERAKTIF.COM]
JILBAB MENURUT AJARAN JIL (JARINGAN ISLAM LIBERAL)
Jilbab adalah tidak wajib, hanya budaya Arab!
-
Muhammad Sa’id Al-Asymawi, seorang tokoh liberal Mesir, yang
memberikan peryataan kontroversial bahwa jilbab adalah produk budaya
Arab. Pemikirannya tersebut dapat dilihat dalam buku Kritik Atas Jilbab
yang diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation.
Dalam
buku tersebut diyatakan bahwa jibab itu tak wajib. Bahkan Al-Asymawi
dengan lantang berkata bahwa hadits-hadits yang menjadi rujukan tentang
kewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa
dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib dipakai
perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutipannya: “Ungkapan bahwa
rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah
itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang
merupakan singgasana, juga aurat. Suara yang merupakan kekuasaannya,
juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya,
perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan
aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba
aurat.
Buku
tersebut secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan
kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in,
menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan
agama.[http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=339]
-
M. Quraish Shihab (beliau adalah seorang cendekiawan muslim dalam
ilmu-ilmu Al- Qur’an dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan
VII (1998). Ia dilahirkan di Rappang, pada tanggal 16 Februari 1944. Ia
adalah kakak kandung mantan Menko Kesra pada Kabinet Indonesia
Bersatu, Alwi Shihab),
Dalam
menafsirkan surat Al-Ahzab: 59, M. Quraish Shihab memiliki
pandangan yang aneh dengan manyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan
wanita muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai
berikut:
“Ayat
di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena
agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara
memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini
diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan
yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah,
terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang
belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya.”[M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003), cet I, vol. 11, hal.
321.]
Demikianlah
pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga sekarang. Hal ini
terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir
Al-Misbah, meskipun sudah banyak masukan dan bantahan terhadap
pendapatnya tersebut.
Di
samping mengulangi pandangannya tersebut ketika menafsirkan surat
An-Nur ayat 31, M. Quraish Shihab juga mengulanginya dalam buku Wawasan
Al-Qur’an. Tidak hanya itu, ia juga menulis masalah ini secara khusus
dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu
dan Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan oleh Pusat Studi Quran
dan Lentera Hati pada Juli 2004. Ia bahkan mempertanyakan hukum jilbab
dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita
adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut
Al-Qur’an. Tetapi apa hukumnya?[M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran,
(Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 171]
M.
Quraish Shihab juga membuat Sub bab: Pendapat beberapa ulama
kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk menyampaikan
pendapat ganjilnya tersebut. Ia menulis:
Di
atas—semoga telah tergambar—tafsir serta pandangan ulama-ulama
mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat
wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh
banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang penulis untuk
mengemukakan pendapat yang berbeda—dan boleh jadi dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh
mayoritas wanita Muslim dewasa ini.[Ibid, hal. 178.]
Selanjutnya,
M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab
dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
فنحن
نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى
التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك (مقاصد الشريعة ص 91)
Kami
percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam kedudukannya
sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama,
bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin
Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah
Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33):
59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya.
Tulisnya:
و
فى القرآن: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ” فهذا شرع روعيت فيه
عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا ينالهم من هذا التشريع
نصيب ” مقاصد الشريعة ص 19
Di
dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin;
hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu.
Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab,
sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak
memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.[M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal.
178-179.]
Untuk
mempertahankan pendapatnya, M. Quraish Shihab berargumen bahwa
meskipun ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan
semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian
pula, menurutnya hadits-hadits yang berbicara tentang perintah
berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan
seharusnya.[Ibid, hal. 179.]
M.
Qurash Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika
menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M.
Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang,
kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah
dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan
mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar
menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang
menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar
petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para
ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.[Ibid, hal. 179.]
Dari
pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab memiliki
pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara garis besar,
pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya
jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa
ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung
aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat.
Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan
bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada
kewajiban agama. Betulkah kesimpulannya tersebut? Tulisan ini mencoba
untuk mengkritisinya.
["Meluruskan Qurais Sihab dan JIL tentang Jilbab" oleh FAHRUR MU’IS].
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah? " (al-Baqarah : 140).
Allah
Ta'ala berfirman,"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan
(hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin ? (QS. AL MAA'IDAH: 50).
Allah
Ta'ala berfirman, "Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka
hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka
tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai" (ar-Rum: 6-7).
Oleh Abu Fahd Negara Tauhid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar