Sahabat dekat saya seorang yang sangat tulus dan ikhlas dalam berdakwah. Sebut saja namanya Ahmad. Usianya masih muda, baru 40 tahun. Dari orang-orang yang saya kenal, belum pernah saya menemukan orang seikhlas dan setulus dia dalam berbuat amal dan kebaikan. Ia tidak pernah merasa dirinya ustadz, tapi jama’ahnya memanggilnya begitu.
Ia berkeliling ke kampung-kampung, dari satu daerah ke daerah lain di Jawa Barat, dari Indramayu hingga Lebak, Banten, mengajak orang pada kesadaran agama dan kini jama’ahnya sudah ribuan. Bedanya dengan ustadz-ustadz lain yang kita kenal adalah bila mereka diundang ke masjid-masjid besar di kota, diundang ke Jakarta, dzikir nasional, datang berduyun-duyun, ustadznya berdiri di mimbar dan duduk di ruang yang nyaman, disorot televisi, populer dan dibayar. Ustadz yang satu ini, jauh dari suasana itu. Ia sendirilah yang datang berkeliling ke daerah-daerah dan kampung-kampung serta pelosok. Dialah yang mendatangi jama’ahnya sendirian tanpa ada yang membiayainya sepeserpun. Hotelnya adalah masjid, surau, tajug atau langgar. Ustadz muda ini membangun jama’ah yang bernama Jama’ah Taushiyah Syaghafan, pusatnya di Bandung. Ia tidak mau dikenal orang, dipuji dan menjadi populer. Popularitas baginya adalah godaan besar dalam berdakwah dan telah banyak merusak niat, mengotori hati dan membelokkan manusia dari keikhlasan berdakwah. Secara rutin, ia mengunjungi dan membina jama’ahnya di kampung-kampung. Tapi jangan salah, jama’ahnya bukan hanya orang-orang kecil. Kelas menengah, orang-orang kaya dan pejabat tinggi juga ada.
Dalam berdakwah, prinsipnya tak pernah mau dibayar sepeserpun. Uang puluhan juta sebagai amplop atau ucapan terima kasih, bahkan mobil dan rumah sebagai hadiah atau penghargaan lain dari orang-orang kaya yang disadarkannya dalam agama semuanya ia tolak. Padahal, ia orang yang kekurangan, jarang punya uang disakunya. Hidupnya benar-benar sederhana dan bersahaja. Penampilan biasa seperti pemuda kebanyakan. Memakai kaos atau kemeja dan tidak memakai asesoris keulamaan. Jauh dari kesan seorang Ustadz atau orang yang punya banyak kelebihan.
Ia sangat berpengaruh pada jama’ah yang dibinanya. Tangisan dan uraian air mata jama’ah adalah biasa saat mendengarkan nasehat-nesehat dan wejangan-wejangannya tentang kehidupan sehari-hari tapi menyentuh. Selain menyadarkan orang, ia juga membantu menyelesaikan masalah-masalah jama’ahnya dengan jalan keluar yang konkrit, tidak hanya nasehat dan anjuran seperti para mubaligh dan ulama lain. Ia juga mengobati berbagai penyakit pada orang yang ia tahu harus dibantu. Ia kuat tidak tidur dan menahan lapar berhari-hari. Ia mengetahui mana makanan yang bisa dimakan olehnya dan mana yang tidak. Itulah kekuatannya dan itulah yang membuatnya berpengaruh pada jama’ahnya, berpengaruh saat memberikan nasehatnya. Ia seorang hamba Allah yang sangat langka dan patut dicontoh. Dibawah ini adalah salah satu kisah menarik bagaimana ia menjawab persoalan jama’ahnya yang dipecahkannya secara konkrit.
* * *
Suatu siang di bulan Desember 2008, di salah satu kumpulan jama’ahnya di sebuah kampung di daerah Subang utara, Jawa Barat, setelah selesai pengajian rutinnya yang saat itu membahas bagaimana membangun keluarga Muslim yang sakinah, ada seorang jama’ah, seorang Bapak berusia sekitar 55 tahun, sebut saja namanya Pak Hasan, ia memohon Ustadz Ahmad untuk bertandang silaturahmi ke rumahnya. Ustadz itu memenuhinya. Ia berniat meneruskan pengajiannya dengan satu dua orang yang masih mengikutinya di rumah Pak Hasan untuk melakukan pembinaan. Hal itu sudah biasa ia lakukan. Setelah pengajian, tidak langsung pulang, melainkan meneruskan pendalaman, bila perlu seharian tau dua hari dan sering tanpa makan. Setelah berada di rumahnya dan air minum tersedia, Pak Hasan membuka pembicaraan pelan-pelan. Seperti ada persoalan berat yang ingin ia tanyakan.
“Pak Ustadz boleh saya menanyakan sesuatu?”
“Ya, masalah apa Pak?”
Sambil agak malu-malu, ia bertanya, “Begini Pak Ustadz. Tadi Pak Ustadz menyinggung juga sedikit masalah poligami yang benar menurut tuntunan agama. Terus terang, ini nyambung dengan yang ada di hati saya. Saya kebetulan berniat menikahi seorang perempuan di desa ini. Saya sudah dekat dengan dia dan bersilaturahmi kepada orang tuanya. Orang tuanya sudah tahu dan menerima niat saya. Tapi, saya bingung menghadapi istri saya. Ia pasti akan menolak dan tidak menyetujuinya. Saya mohon nasehat Ustadz, gimana sebaiknya ya Pak? Saya bingung.”
Ustadz sahabat saya ini segera paham, ia berniat poligami. “Pak, poligami dibolehkan dalam agama. Tapi harus hati-hati, harus benar-benar menjaga niatnya. Niat, cara dan tujuannya harus benar. Naah, niat dan tujuan Bapak menikahi perempuan itu apa? Jangan karena nafsu, hanya karena cantik, menarik, dan perempuannya mau. Atau karena merasa Bapak banyak uang, nanti akan kacau rumah tangga Bapak.”
“Begini Pak Ustadz. Niat saya ingin menolong perempuan itu. Orangnya baik, shaleh, dari keluarga sederhana. Usianya sekitar 36 tahun tapi belum menikah juga. Saya ingin membantunya dengan sekalian saja menikahinya. Insya Allah, saya niatkan sebagai ibadah. Dengan pandangan yang sama bahwa nikah itu ibadah, dia mau menjadi istri kedua, dia siap. Saya juga Insya Allah mampu. Kan tidak salah Pak Ustadz?” Katanya sambil agak malu-malu. “Tapi, bagaimana menghadapi istri saya menurut Ustadz? Dia pasti menolaknya.”
Ustadz ini kebetulan memiliki kemampuan istimewa. Ia seorang yang kasyaf secara ruhani. Atas kemampuan bacaan ruhani seorang mukasyafah, orang modern menyebutnya “the six sense.” Ustadz ini bisa melihat aura seseorang dengan mudah. Dari auranya, ia bisa mengetahui karakter asli seseorang termasuk bohong tidaknya. Aura si Bapak ini bagus, orangnya jujur, agamanya bagus, mendidik istri dan keluarganya juga bagus. Ia berwibawa di hadapan istrinya dan istrinya pun hormat padanya. Ustadz itu tahu, orang ini perlu dibantu. Aura rumahnya pun bagus, ia membaca ada kelancaran atas niat si bapak ini. Disisi lain, si Bapak ini orang berada, kehidupan ekonominya maju.
“Eemh… sebuah niat yang baik dan mulia. Kalau benar niat Bapak seperti itu kenapa harus takut? Masalahnya, bingung menghadapi istri ya Pak? Hehehe … Begini saja, tolong panggil istri Bapak kesini. Insya Allah ada jalan keluarnya.” Dengan senang, deg-degan dan agak takut, si Bapak menuruti. Ia memangggil istrinya ke hadapan Ustadz itu. Setelah berada di ruang tamu, Ustadz menyapa si Ibu yang tadi siang juga hadir di pengajiannya:
“Buu… saya mau bicara, tidak mengganggu kan? Bisa kan Ibu duduk disini?”
“Iya, Pak Ustadz.” Jawab si Ibu yang telah menjadi jama’ahnya rutinnya.
“Begini Bu, jangan kaget yaa… Ibu tenang saja, jangan emosi, ada saya disini. Ada kabar yang mungkin mengagetkan dan tidak enak buat Ibu. Tapi, segala sesuatu bisa dimusyawarahkan dengan baik. Buu…, tadi saya mendengar sendiri dari Bapak. Bapak, suami Ibu ini, punya niat menikahi seseorang. Niatnya baik dan mulia, ia ingin membantunya menolong orang itu. Niat baik itu tidak boleh dihalangi. Menghalangi niat baik seseorang bisa menjadi dosa buat kita. Nah, niat baik itu dari siapapun harus dibantu. Insya Allah menjadi ibadah buat kita selama kita ikhlas membantunya. Dalam hal niat bapak ini, ibu pasti berat, tapi disitulah nilai ibadahnya. Berbuat ikhlas itu berat tapi disitulah keutamaaanya. Nah, bagaimana pandangan dan sikap Ibu? Silahkan jujur dan terbuka disini. Mumpung ada saya, silahkan ungkapkan hati Ibu apa adanya kepada Bapak. Jangan merasa ada paksaan dan jangan merasa terpaksa.” Kata Ustadz meyakinkan.
Si Ibu tentu saja kaget luar biasa. Jantungnya berdetak keras. Ia seperti kena halilintar di siang bolong mendengar penjelasan itu. Tapi, Ustadz itu sangat dihormatinya dan telah mempengaruhi jiwa dan kesadaran agamanya. Pengajiannya selama ini banyak menyadarkan jama’ahnya bagaimana beragama yang benar. Ia sering sekali menekankan pentingnya ikhlas dalam menjalani hidup, menghadapi cobaan dan dalam beribadah. Penjelasannya sederhana tapi menyentuh. Banyak jama’ahnya yang ingin benar-benar berubah.
Si Ibu benar-benar bingung dan berat menjawabnya.
“Pak … secara syari’at, Mamah tuh gak ada masalah, Mamah nerima itu ketentuan Allah !! Tapi, hati ini gimana yaa..” katanya berat. “Pak, Bapak tuh benar begitu… ? Mencari apalagi sih Pak? Bapak itu ekonomi sudah maju, harta banyak, ke haji sudah, anak-anak sudah punya, mencari apalagi Paaak…?”
Setelah istrinya menjawab, Pak Hasan mengulangi mengutarakan niatnya. Mereka berdua saling jawab, berdialog. Ustadz membiarkan mereka berkomunikasi secara terbuka dan murni tanpa ada rekayasa.
“Bu… tadikan saya sudah membantu menyampaikannya pada Ibu. Bapak sudah mengutarakan niatnya,” sela Ustadz Ahmad, “Insya Allah niat Bapak memang baik. Tapi ingat, Ibu menjawab jangan karena saya. Harus benar-benar jujur yang keluar dari hati ibu. Saya disini hanya membantu saja agar Ibu mengetahuinya. Jangan ada kebohongan dalam rumah tangga. Bisa celaka. Bisa ada akibat yang tidak diinginkan bila bapak memendam niatnya dan tidak terus terang kepada Ibu. Makanya, saya memanggil Ibu. Inikan lebih baik daripada Bapak nanti main belakang. Ya kan Bu?”
“Iya Pak Ustadz.”
Kebetulan, istrinya ini seorang istri yang baik. Suaminya juga sama, memiliki wibawa di depan istrinya. Pak Hasan membimbing agama di keluarganya dengan baik. Secara ekonomi, selama ini si Ibu dan anak-anaknya tidak merasa kekurangan bahkan terbilang lebih dibanding tetangganya sekitarnya. Pengaruh Ustadz itu disitu mengendalikan suasana menjadi terbuka, terus terang dan terkendali. Tidak ada luapan emosi dan kemarahan.
“Maafin Bapak ya Mah… Bapak tidak berniat mengurangi kasih sayang dan perhatian pada Mamah dan keluarga. Tidak. Bagi Bapak, Mamah dan anak-anak tetap nomor satu. Bagi Bapak, keluarga adalah harta yang sangat berharga. Bapak sayang sama Mamah dan anak-anak. Bapak tergerak hati untuk menolongnya. Kebetulan dia mau. Jadi syukur, tidak juga tidak apa-apa. Bapak terserah takdir Allah saja. Niat Bapak mudah-mudahan menjadi ibadah. Mamah ridha kan…?? Gimana Mah, Mamah mengizinkan tidak?”
Si Ibu itu tampak diam, perasaannya berat dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Jadi gimana Buu…? Ibu menerima?” Ustadz menegaskan lagi perlahan.
Sambil berharap-harap cemas, suaminya juga mengulanginya lagi:
“Gimana Mah, keberatan tidak?”
Tiba-tiba, “Khuaa…huu…huu…” Istrinya menangis di pangkuan suaminya, ia meraung dan terisak. Melihat itu, si Bapak pun tak kuat membendung air matanya. Ia pun menangis sambil memeluk istrinya. Keduanya menangis dalam pelukan haru mengekspresikan isi hatinya yang berat. Ustadz pun tak kuat menahan perasaannya. Hati si Ibu tampak sangat berat, tapi ia sedang berjuang mengalahkan beban perasaannya. Dari auranya, Ustadz Ahmad membaca, istrinya ini adalah tipe istri yang taat dan hormat pada suaminya. Ustadz bergumam dalam hatinya: “Biarkan saja pada menangis, memang harus begini prosesnya.”
Setelah tangisnya agak reda, lama si Ibu masih belum menjawab. Lidahnya seolah terkunci. Ia berfikir dan perasaannya bercampur. Menjawab “tidak” ia segan pada suaminya dan khawatir menjadi masalah ke depannya. Sebagai istri, ia bergantung penuh suaminya. Suaminya selama ini adalah suami yang baik. Ia adalah pemimpin rumah tangga yang harus ditaati. Selama ini, ia tidak pernah membangkang. Buat apa rajin ke pengajian kalau ia menjadi seorang istri pembangkang. Ia takut durhaka. Ada juga bayangan ketakutan suaminya ini suatu saat main belakang dengan perempuan lain, bila ia menolaknya. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Ia juga merasa segan pada Ustadz Ahmad yang berwibawa yang telah menjadi penyambung lidah suaminya. Tapi, menjawab “iya,” hatinya merasakan berat. Suaminya dan Ustadz Ahmad masih menunggu. Setelah agak lama, Ustadz bertanya lagi perlahan, “gimana Bu? Ibu bersedia? Rela?”
Dalam kemelut fikiran dan isak tangisnya, akhirnya istrinya menjawab pasrah: “Pak Ustadz, saya pasrah saja pada suami saya. Saya taat pada Bapak sebagai pimpinan rumah tangga. Mudah-mudahan ini menjadi ibadah dan kebaikan saya di mata Allah.”
“Benar bu yaa…?”
“Iya, Pak Ustadz.” Tensinya melemah.
“Yaa… syukurlah… kalau ibu bisa menerima kenyataan ini. Mudah-mudahan Ibu tabah dan kuat menghadapinya. Bu, hidup ini seringkali mengagetkan dan tidak seperti apa yang kita kehendaki. Allah saja sudah mengaturnya seperti itu. Nah, bisa tidak kita ikhlas menerima takdir Allah yang menimpa kita itu? Kalau ikhlas, Insya Allah menjadi ibadah, jaminannya pun Insya Allah surga. Tapi ingat, Ibu berharap ini menjadi ibadah bukan karena saya. Ibadah itu hubungan Ibu langsung dengan Allah. Saya do’akan, Insya Allah, ini menjadi kebaikan ibu karena ibu bisa mewujudkan keikhlasan yang berat ini. Bukan soal Bapak nikah laginya ini, tapi soal keikhlasan dalam urusan apapun.”
“Bu,” sambung Ustadz lagi, “Ibu itu perempuan. Saya tahu, perasaan ibu berat walaupun ibu menyatakan ikhlas dan menerima.”
Ustadz Ahmad berfikir, untuk sementara biarlah tidak apa-apa. Wajar. Ikhlas itu memang berat. Tapi, justru disitulah nilai ibadahnya. Mengalahkan rasa berat yang mengganjal dihati demi kebaikan adalah perjuangan untuk mewujudkan keikhlasan. Itulah pengorbanan berat yang akan mendatang ridha Allah.
“Bu, istri-istri Rasulullah saja merasa berat dimadu. Mereka juga sama perempuan. Tapi mereka bisa mengalahkan perasaannya. Itulah contoh buat kita. Agama juga memerlukan pengorbanan rasa. Kalau tidak ada pengorbanan rasa tidak akan ada keagungan. Mengalahkan rasa berat dan berkorban perasaan demi kebaikan dan demi ketaatan kepada Allah adalah keagungan. Inti perjuangan itukan mengalahkan rasa berat, mengalahkan godaan, mengalahkan egosime. Kalau agama tanpa pengorbanan tidak akan ada ibadah, tidak akan ada perjuangan, tidak akan ada keutamaan. Itulah yang membuat kita tinggi dan mulai di sisi Allah SWT. Naah… mari, usaha mewujudkan keikhlasan dan tekad mengalahkan nafsu itu kita mulai sekarang mumpung ada kesempatan. Jadikanlah ini sebagai ibadah ibu, justru ini ibadah ibu yang besar karena sanggup mengalahkan rasa berat. Ibu bisa saja menolak menjawab “tidak mau” untuk menuruti rasa panas hati ibu, tapi itu hati yang kerdil. Selama niat dan tujuan suami baik, bisa tidak kita justru membantunya bukan malah menghalanginya. Bapak caranya baik kepada Ibu dan ibu membalasnya juga dengan baik. Tanpa terasa, ini adalah saling memberi kebaikan antara Bapak dengan Ibu. Inilah suami istri yang diridhai Allah SWT.”
“Pak,” Ustadz Ahmad menggilirkan nasehatnya pada suaminya yang tampak sedang menyembunyikan rasa senangnya, “ingat Bapak jangan dulu senang dengan penerimaan istri Bapak. Tugas bapak justru lebih berat sekarang. Bapak harus menjaga niat, jangan sampai berubah. Sekali niat Bapak melenceng bukan karena Allah nanti akan menjadi nafsu. Nafsu menggoda kita dengan cara yang sangat halus, sangat tidak terasa. Niat yang lurus akan mengontrol Bapak dari melakukan kesalahan dan kekeliruan. Tapi dasarnya salah dan niatnya nafsu, akan menghancurkan kehidupan Bapak. Sudah banyak contoh Pak, orang yang poligami menjadi hancur keluarganya karena dasar dan niatnya salah. Bapak jangan membayangkan kesenangan, tapi tanggung jawab yang berat di hadapan Allah kelak bila Bapak tidak adil. Adil itu proporsional Pak, terutama dalam rasa, bukan materi. Bapak tidak mungkin adil dalam materi karena Bapak sudah lama berumah tangga dengan Ibu. Ibu sudah banyak menerima nafkah dan materi dari Bapak. Tapi dalam rasa, Bapak harus menjaga keseimbangan. Momen yang baik sekarang ini harus menjadi langkah awal menciptakan keluarga yang lebih baik lagi, yang sakinah mawaddah warahmah. Ini harus menjadi langkah awal Bapak lebih baik lagi berkomunikasi dengan ibu, kalau perlu lebih harmonis lagi, lebih sayang dan lebih perhatian dari sebelumnya. Rumah tangga bapak yang sakinah harus dimulai dari pertemuan sekarang ini, karena langkah ini dimulai dengan cara yang baik. Tidak boleh lagi ada kebohongan atau dusta antara ibu dan bapak. Segalanya bicarakan dengan musyawarah. Jangan berat sebelah. Ingat, tanggung jawab Bapak sebagai kepala rumah tangga semakin berat dengan dua istri. Allah akan meminta pertanggungjawaban Bapak kelak.”
“Ibu,” kata Ustadz Ahmad lagi, “Ibu juga harus menerima kenyataan ini. Ibu harus membuktikan keikhlasan ibu, jangan hanya di mulut. Jangan hanya sekarang karena ada saya, kesananya tidak. Ibu sekarang tidak bisa merasa lebih memiliki Bapak. Ibu harus menerima kenyataan bahwa sekarang ada istri lain yang memiliki Bapak. Ada istri lain yang harus diperhatikan. Ibu harus menerima dan ikhlas dengan pergiliran waktu. Mari saling menjaga, saling memperhatikan, saling menyayangi, saling mengerti dan saling memaafkan diantara kita. Insya Allah rumah tangga Ibu dan bapak akan sakinah.” Sekitar 15 menit Ustadz Ahmad memberikan nasehat pada mereka berdua. Ustadz itu merasa sudah membawa mereka pada rumah tangga poligami, maka ia pun harus benar-benar membekalinya, tidak bisa asal-asalan, jangan kesananya jadi hancur. Mereka berdua khidmat mendengarkan, tidak berani menyanggahnya, karena memang tidak perlu ada yang disanggah.
* * *
Setelah menasehati panjang lebar, Pak Ustadz muda itu kemudian melangkah lagi satu langkah.
“Nah sekarang, calon istri bapak yang baru tolong bawa kesini. Yang manggilnya Bapak. Ibu disini.”
“Panggil Pak Ustadz?” kata suaminya.
“Iya panggil. Bapak harus menjemputnya dan membawanya kesini.”
Dengan air mata yang sudah mengering di wajahnya, si Bapak berdiri dan pamitan pada istrinya dan Pak Ustadz. Ia berjalan dengan hati yang bekecamuk, antara senang dan haru. Bebannya merasa telah terpecahkan dan tidak menyangka kejadiannya akan mengharukan seperti ini. Rumah calonnya tidak terlalu jauh, tak lama ia datang berdua. Perempuan muda itu sebut saja Aisyah, masih dari lingkungan kampungnya.
Saat berjalan, calon istri keduanya kaget, bergetar dan ketakutan. Perasaan bersalah menghinggapinya. Bisa dibayangkan, ia diundang oleh Ustadz Ahmad ke rumah Pak Hasan yang selama ia menjalin hubungan dengannya. Ia merasa akan disidang karena merasa telah mengganggu rumah tangga orang. Apalagi, disitu ada istrinya Pak Hasan. Tapi, ketika menjemputnya, rupanya Pak Hasan berhasil meyakinkannya bahwa ia diundang justru Ustadz Ahmad akan memenuhi harapannya diperistri Pak Hasan.
Begitu masuk rumah, Bu Hasan dan Aisyah saling menatap. Mereka kaget sekali. Hah?? Rupanya mereka saling mengenal. Si Ibu sangat kaget, tidak menyangka sama sekali bahwa calonnya adalah orang yang dia kenal. Sesudah mengucapkan salam, pada kaget, melongo dan hatinya saling bertanya-tanya. Pak Ustadz itu menenangkan.
“Silahkan duduk. Siapa namanya?”
“Aisyah, Pak Ustadz.” Jawabnya pelan.
Perempuan itu wajahnya lumayan tapi tampak sudah berumur. Dengan malu-malu dan ketakutan, ia duduk di sebelah Ustadz Ahmad.
“Begini ya Aisyah… Tenaang yaa… Jangan takut. Ini bukan musibah, ini justru barokah. Pertemuan ini Insya Allah barokah.” Kata Ustadz menenangkan.
“Naah… Aisyah,” kita semua disini sudah mengetahui niat dan keinginan Bapak ini dengan Aisyah. Pak Hasan sudah mengutarakannya kepada Ibu secara terbuka. Ibu sudah mendengar semuanya. Tadi mereka sudah berangkulan saling mengikhlaskan. Walaupun terasa berat, Ibu sudah mengikhlaskan menerima niat Bapak dengan Aisyah.”
Aisyah sangat kaget. Ia bingung dan perasaan tidak menentu mendengar penjelasan Ustadz Ahmad. Rencana, keinginan dan bayangan dinikahi Pak Hasan musnah sejenak disitu. Yang ada adalah perasaan sangat malu pada Bu Hasan.
“Nah, sekarang sudah kumpul. Disaksikan ibu, bapak sekarang silahkan utarakan maksud Bapak kepada Aisyah!” Instruksi Ustadz itu. Sambil merasa berat karena disaksikan istrinya, Pak Hasan berkata, “Neng, maafkan Bapak ya… Bapak ingin mewujudkan niat kita itu. Dari pada kita sembunyi-sembunyi, daripada kita tertutup mendingan terbuka begini. Selesai pengajian tadi, Bapak nanya sama Pak Ustadz Ahmad meminta nasehat jalan keluarnya. Ternyata Pak Ustadz menyelesaikannya dengan jalan seperti ini. Benar-benar diluar dugaan. Tapi, Bapak merasa lega sekarang karena istri bapak sudah mengijinkan. Tapi, Bapak terserah Neng, mau syukur, tidak juga tidak apa-apa. Bagaimana, Neng menerima Bapak tidak?”
Wajah Aisyah tampak pucat dihinggapi rasa malu. Lidahnya terasa berat dan kelu. Ia seolah tak sanggup berbicara, ia merasakan betul berada pada pihak yang salah telah mengganggu keluarga orang. Tapi, ia juga tidak mungkin mendustai perasaannya dan mementahkan apa yang sudah direncanakannya dengan laki-laki yang sudah beristri itu.
“Ayo bu…, dijawab saja, tidak usah malu-malu. Ini adalah kebaikan. Biar menjadi jelas..!” Pinta Ustadz Ahmad.
Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya keluar juga kata-katanya. Matanya berkaca-kaca.…
“Pak Ustadz, saya malu, merasa sebagai pihak pengganggu. Saya benar-benar mohon maaf pada semuanya, terutama pada ibu. Saya pasrah saja, saya ikut saja, pada keputusan bapak dan ibu.”
“Ya sudah,” Ustadz cepat-cepat menukas. Ia memaklumi Aisyah berada pada posisi yang tidak enak. “Tidak perlu merasa malu. Kebaikan sudah dibuka dirumah ini. Aisyah sudah diterima oleh Bu Hasan untuk turut mendampingi Bapak.”
“Sekarang, giliran Ibu bicara sama Aisyah.” Pinta Ustadz Ahmad lagi, “silahkan, ungkapkan perasaan Ibu. Apa yang ingin Ibu sampaikan.”
Si Ibu juga berat, lidahnya terasa kaku. Sangat susah ia megeluarkan kata-kata. Walaupun sudah menerima, perasaannya masih tidak menentu. Ia kemudian menangis lagi. Nafasnya tersengal. Ia sedang berjuang mengalahkan perasaannya. Kedua perempuan ini duduk berhadapan. Ia sudah menyatakan rela atas keinginan suaminya yang berarti ia harus menerima perempuan muda yang ada dihadapannya itu. Kemuliaan perempuan ini lebih besar dari egoismenya memiliki penuh suaminya. Ketaatannya sebagai istri telah mengalahkan nafsunya untuk mengikuti bisikan menolak niat suaminya. Kerelaan dimadu adalah kekuatan mengalahkan diri sendiri. Dan itu berat. Karena itu hanya sedikit perempuan yang sanggup menerimanya. Kebanyakan adalah perempuan biasa, yang dengan kesadaran umum ia menolak mentah-mentah bahkan tak sungkan-sungkan memilih cerai daripada dimadu. Kekuatan diri dan kebesaran jiwa tidak dibentuk oleh tingkat pendidikan dan pergaulan modern melainkan oleh sikap penerimaan, keikhlasan dan kepasrahan yang tinggi melalui tempaan pengalaman hidup. Bu Hasan sedang menunjukkan kekuatan itu pada perempuan muda dihadapannya. Sambil terisak, ia berkata berat: “Te.. rus… tee… raang… huu…hhuu…hiks….hiks. Ibu kira bukan Eneng orangnya. Hik…hik…hiks… Ibu sering melihat Eneng. Ibu bukan Eneng… Tapi, ya sudaah… Ibu pesen saja… kita urus sama-sama si Bapak ya Neng… Eneng jangan sayang sama Bapak saja… Eneng harus sayang juga sama keluarga dan anak-anak ya Neeng … hik…hik… hiks…”
Mendengar kerelaan yang diungkapkan dalam suasana haru saat itu, Aisyah bukannya senang, tapi malah tak kuat menahan perasaannya. Ia pun meneteskan air matanya, terharu. Ia menjatuhkan kepalanya pada pangkuan Bu Hasan. Suasana jadi semakin haru.
““Huu … huu…. hiks… hiks… Maafkan saya Bu… Maafkaan… Sekali lagi ma.. aaaf…!” Jawab perempuan muda itu tersedu-sedu takluk pada kemuliaan hati bu Hasan.
“Ya cukup… cukuuup…” kata Ustadz Ahmad yang juga matanya basah melihat adegan ini, “Alhamdulillah … Pernyataan bersedia sudah pada keluar secara jujur dan terbuka dari ketiga belah pihak. Insya Allah ini akan menjadi awal yang baik dalam membangun rumah tangga. Insya Allah, saat ini Allah sedang menurunkan barokahnya di ruangan ini. Air mata kepasrahan ibu berdua adalah saksi atas turunnya rahmat Allah hari di rumah ini. Alhamdulillah… kita dijauhkan dari suasana amarah dan emosi, tempatnya syetan menyelusupkan bisikan godaannya.”
“Sudaah… bu yaa… antara ketiga pihak ini sudah merelakan.” Kata Ustadz Ahmad.
“Tapi maaf,” pikiran Ustadz itu menghentak lagi, “ini belum selesai. Sekarang saya minta, tolong panggilkan kedua orang tua Ibu alias mertua Pak Hasan. Yang manggilnya Bapak. Tolong harus hadir disini. Bilang saja saya yang memintanya. Mohon dengan sangat gitu!”
“Pak Ustadz, maaf, kenapa mereka harus dipanggil juga?” Pak Hasan nampak keberatan.
“Oh iya, harus!” Tegas Ustadz. “Keluarga harus tahu semuanya biar tidak ada fitnah diantara saudara. Kita sudah mengawali dengan langkah yang baik, dengan keterbukaan. Semua keluarga harus tahu biar tidak ada fitnah dan ghibah dalam keluarga. Caranya harus seperti ini. Para orang tua juga harus dihadirkan untuk memberi tahu dan meminta do’anya.”
Semuanya pada kaget, tak menyangka dengan langkah Ustadz Ahmad. Tapi, karena Pak Hasan yang menginginkan pernikahan ini, ia menuruti juga.
Ketika ia melangkah pergi, Ustad Ahmad memberi tugas juga pada istrinya. “Naah… Ibu. Maaf, tugas Ibu tolong hadirkan juga orang tuanya Bapak atau mertua Ibu. Ibu ini istrinya bapak. Harus lengkap semua supaya pernikahan ini menjadi barokah buat semuanya.”
Si Ibu kaget juga, tapi suasana haru saat itu tidak membuka ruang berfikir, yang ada adalah ketaatan pada Ustadz muda yang meyakinkan ini. “Baik Pak Ustadz,” Bu Hasan pun melangkah pergi menjemput mertuanya.
Orang tua Pak Hasan rumahnya cukup dekat. Sekitar setengah jam sudah tiba. Sedangkan orang tua Bu Hasan agak jauh. Sekitar dua jam Ustadz Ahmad menunggunya. Menjelang maghrib mereka semua sudah kumpul. Drama itu diselang dulu oleh shalat maghrib berjama’ah yang dipimpin oleh Ustadz Ahmad sendiri.
* * *
Orang tua Bu Hasan masih lengkap, sedangkan orang tuanya Pak Hasan tinggal bapaknya. Istrinya sudah lama meninggal dunia. Yang datang jadi bertiga. Usia mereka rata-rata antara 70-75 tahunan. Selesai shalat magrib berjama’ah, Ustadz Ahmad rupanya masih menugaskan kedua suami istri itu, Pak Hasan dan istrinya, dengan tugas baru.
“Pak, Bu, orang tua Bapak dan Ibu masing-masing sudah hadir. Sekarang maaf, orang tuanya Aisyah juga harus dijemput. Mereka harus dihadirkan. Keduanya harus datang kesini, yang menjemputnya Bapak dan Ibu berdua. Maaf Pak, Bu yaa… harus begitu.”
Suami istri itu kaget dan bingung. Mereka celingukan. Langkah ustadz itu benar-benar diluar dugaan. Ia memberikan tugas berat terutama bagi bu Hasan. “Menjemput mertua calon maru? Mertua istri muda? Aakhh… betapa beratnya,” bayangan Bu Hasan. Bila menggunakan nafsu, ia ingin mengatakan, “enak benar si Bapak! Sudah diizinkan, dijemput lagi oleh Ibu lagi. Kira-kira dong Pak!! Pakai perasaan.” Itulah fikiran yang diliputi hawa nafsu. Tapi tidak begitu menurut kebenaran. Yang benar adalah para orang tua ini memang harus hadir mengetahuinya karena ini pernikahan poligami, yaitu suami beristri menikah lagi dan diizinkan oleh istrinya. Suasana saat itu sudah tenggelam dalam ketaatan pada Ustadz yang mengatasi masalah pelik ini. Langkahnya dari awal sudah meyakinkan. Permintaah Ustadz Ahmad tidak mungkin dibantah dan proses kemuliaan sedang berjalan, tidak mungkin dimentahkan. Tidak mungkin ada penolakan. Kesediaan mereka berdua menerima istri muda harus dituntaskan. Suami istri itu pun berjalan lagi keluar rumah menuruti instruksi Ustadz Ahmad.
Untung rumahnya tidak jauh. Pak Hasan mungkin agak gembira dalam hatinya. Tapi istrinya? Anda bisa membayangkannya sendiri. Ia harus dengan rela menjemput orang tua “pesaingnya,” seorang perempuan muda yang akan mengambil sebagian hati dan cinta suaminya. Tapi, lagi-lagi, perasaan itu tidak muncul, terhapus oleh kaharuan suasana dramatis sejak tadi siang. Malah, saat mulai melangkah, ada sebuah kesadaran halus hinggap ke kedalaman sanubari Bu Hasan: “Kalau saya sudah rela, kenapa harus merasa berat?” Ia pun terus melangkah. Betapa mulianya perempuan itu. Hari itu, kemuliaan dan ridha Allah sepenuhnya milik istrinya. Sepenuhnya berhak disandangkan pada istrinya sebagai pakaian kebesarannya, Bu Hasan yang berhati mulia.
* * *
Sekitar 20 menit, mereka datang berempat. Orang tuanya Aisyah tampak bingung dan tidak mengerti. Mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mereka memenuhi saja undangan Pak Hasan dan istrinya yang disebutkannya permintaan Ustadz Ahmad. Kedua orang tua Aisyah mengetahui Ustadz itu sering memberikan ceramah dan menjadi panutan di daerah itu. Ustadz itu misterius karena tak seorang pun dari ribuan jama’ahnya, termasuk di daerah itu, tak mengetahui jelas identitasnya, alamatnya, rumahnya dst. Yang mereka tahu, Ustadz itu datang jauh dari Bandung, masih muda, banyak keanehan, selalu datang sendirian dan tak membawa apa-apa, tidak pernah membawa kendaraan, sering berkunjung ke daerah itu dan memberikan pengajian yang berpengaruh pada jama’ahnya. Setelah itu menghilang. Sering datang lagi dalam waktu yang tidak terduga. Ustadz itu hanya pernah menceritakan bahwa statusnya sebagai pengajar di pergururan tinggi Islam di Bandung, tapi mengaku sebagai orang biasa-biasa saja. Begitulah ia dikenal jama’ahnya di pelosok-pelosok Banjar, Ciamis, Indramayu, Cirebon, Kuningan, Majalengka, Purwakarta, Cicalengka, Banjaran, Bandung dst, bahkan juga di daerah Jawa Tengah.
Ia berkeliling ke daerah-daerah itu membina jama’ahnya yang sudah ia bangun hingga masyarakat yang lokasinya sulit dijangkau kendaraan dan daerah pegunungan. Masyarakat yang ia bina sudah terikat dan mencintainya karena ketulusannya, kelebihannya dan keanehannya sekaligus. Mereka yakin, ustadz ini bukan orang biasa. Ketika ia tidak ada, mereka merindukannya. Dan ketika Ustadz itu datang, masyarakat saling memberitahu secara otomatis dan tak lama kemudian berkumpul. Saat-saat tertentu, jama’ah yang berkumpul bisa mencapai ratusan yang datang dari berbagai desa. Ustadz itu bila perlu berhari-hari ada di sebuah daerah. Yang jama’ahnya ketahui dari Ustadz Ahmad adalah keanehan tidak pernah mau menerima honor ceramah, kalaupun menerima ia minta langsung dibagikan ke fakir miskin yang ada disitu, jarang makan berhari-hari dan jarang kelihatan tidur. Bila berkumpul dua tiga hari, orang bisa membuktikannya ia tidak tidur selama itu. Yang keluar dari mulutnya selalu nasehat, kalimat-kalimat penyadaran dan ajakan pada kebaikan.
Sambil masuk ke rumah Pak Hasan, mereka berempat mengucapkan salam. Orang tua Asiyah itu semakin bingung melihat anak perempuannya ada disitu. Ada apa gerangan? Jangan-jangan niat Pak Hasan untuk menikahi anaknya terbongkar oleh keluarganya dan jadi masalah. Tempat duduk sudah diatur agar semuanya mendapat kursi. Mereka melingkar di ruang tamu yang saat itu menjadi sempit karena sekitar 15 orang berkumpul. Ada beberapa anggota keluarga Pak Hasan yang turut menyaksikan drama itu sejak awal. Anaknya Pak Hasan pun dihadirkan. Yang satu laki-laki masih usia SD, satu lagi perempuan usia SMA. Hari itu benar-benar hari yang istimewa. Sebuah peristiwa luar biasa dan amat langka sedang terjadi di rumah itu. Saat itu pukul 20.00 lebih 15 menit.
“Nah, alhamdulillah sekarang sudah kumpul semuanya. Kita mulai lagi.” Ustadz Ahmad membuka agenda selanjutnya. Kepada para pasangan mertua, Ustadz Ahmadi memfokuskan pembicarannya.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat. Maaf sebelumnya saya telah mengganggu Bapak dan Ibu semua. Pasti bertanya-tanya, ada apa ini, kan?? Tidak perlu kaget, bapak-bapak dan ibu-ibu semua dikumpulkan disini adalah untuk satu urusan penting. Bapak-bapak dan ibu-ibu adalah satu keluarga besar. Saya meminta waktunya. Ini untuk kebaikan bersama, kebaikan kita semua, terutama keluarga besar Bapak dan Ibu Hasan disini.”
“Begini… Pak yaa…. buu…” Ustadz Ahmad agak tersenyum sambil membetulkan posisi duduknya, ia senang telah berhasil mengumpulkan para orang tua ini. Ia kemudian menceritakan yang sudah terjadi dari A sampai Z. “Sekarang, alhamdulillaah…. Pak Hasan sudah siap, Bu Hasan pun sudah tahu dan ridha walaupun masih terasa berat ya Bu…?? Hehehe….” ujar Ustadz melirik ke Bu Hasan. Bu Hasan hanya tersenyum lirih. “Aisyah pun sudah menerima kesepakatan Pak Hasan dan Ibu. Tadi mereka semua sudah berbicara langsung dan terbuka. Insya Allah ini akan menjadi barokah buat kita semua. Pernikahan ini Insya Allah akan menjadi pernikahan yang penuh barokah. Naah… Tapi bagi saya, pembicaraan dan keterbukaan antara mereka bertiga belum cukup. Untuk itulah saya mengumpulkan Bapak-bapak dan Ibu-ibu semuanya sekarang disini. Begitulah Paak, Buu, ceritanya …”
Para orang tua itu pada kaget. Reaksi para mertua ini berbeda-beda. Ada yang khawatir, ada yang tersenyum, ada yang kesal, ada yang merasa aneh dan sebagainya. Yang jelas semuanya kaget dan merasa aneh dengan peristiwa ini.
“Naah… sekarang Bapak harus meminta ridha para orang tua ini,” kata Ustadz kepada Pak Hasan, “ibu-ibu dan bapak-bapak ini semua adalah orang tua Pak Hasan dan Bu Hasan sendiri. Mertua itu hanya status sosial dan ikatan hukum, hakekatnya adalah orang tua kita sendiri. Kita harus menghormati dan memperlakukam mereka ini sebagai orang tua sendiri. Bapak harus menghormati mereka dengan meminta keridhaan dan memohon do’anya. Do’a orang tua pada anaknya Insya Allah makbul.”
Pak Hasan dan istrinya menganggukkan kepalanya membenarkan ucapan Ustadz.
“Pertama, saya minta silahkan kedua orang tua Bu Hasan atau mertua Pak Ahmad yang menyampaikan perasaan dan pesannya kepada Pak Ahmad. Silahkan.”
Kedua orang tua ini bingung. Harus bilang apa? Belum habis kekagetan mereka. Tapi mereka tampak berusaha menenangkan diri. “Terima kasih Pak Ustadz. Saya sungguh tidak menyangka dan tentu saja kaget sebagai orang tua. Hasan mau menduakan Titi, anak saya. Benar Ustadz, kami sangat kaget. Tapi, yaa… gimana lagi, terserah saja. Titi dan Hasan bukan anak kecil lagi. Mereka sudah pada dewasa. Kami sebagai orang tua merasa tidak berhak ikut campur pada keluarga anak saya. Yang penting, kamu Ti benar-benar siap dan sudah difikirkan matang-matang. Nak Hasan juga harus mikir masak-masak, apa benar-benar sudah siap dan sanggup adil dengan dua istri. Ingat, jangan sampai menelantarkan istri dan anak-anak gara-gara ada istri muda. Ibu dan bapakmu sih begitu saja. Ya bu ya?” kata mertuanya pak Hasan. Istrinya, hanya sedikit bicara dalam bahasa Sunda yang sederhana, datar dan cuek. “Ah, da kamu teh sudah pada tua. Ibu mah terserah saja. Asal jangan ditinggalkan saja sama suamimu. Makanya siap juga, kamu teh mungkin sudah memikirkannya.”
Setelah selesai, kemudian Ustadz Ahmad mempersilahkan mertua Bu Hasan, alias bapaknya Pak Hasan untuk berbicara. Orang tua ini agak lucu.
“Lain, maneh teh bener rek kawin deui? Pan geus kolot. Neangan naon deui atuh?” (Kamu bener mau kawin lagi? Kan kamu sudah tua? Mencari apa lagi?). Mendengar itu, ustadz hanya tersenyum.
“Iya Pak ya, padahal buat saya saja.” Kata Ustadz bercanda.
“Heueuh… pantes keneh keur si Jang Ustad!” (Iya lebih pantas sama nak ustadz).
Dalam suasana haru sejak siang tadi, rupanya hanya itu hiburan yang terdengar. Tapi, suasana haru tidak berubah. Ustadz Ahmad berusaha mempertahankannya.
Setelah itu, dipersilahkan pasangan orang tua Aisyah. Mereka agak kebingungan. Sama dengan perasaan Aisyah, mereka merasa pada posisi yang menganggu keluarga orang lain.
“Kalau Bapak dan istri, benar-benar minta maaf, anak saya telah mengganggu keluarga Pak Hasan dan Ibu. Saya tadi kaget disuruh datang kesini. Saya kira, saya dan anak saya mau disidang. Yaah… saya juga tidak mengerti. Anak saya belum ada jodohnya saja. Takdir Allah mah tidak disangka-sangka. Kalau mau dan sudah bulat siap dinikahi Pak Hasan terserah saja. Saya serahkan keputusannya pada anak saya saja. Kami sebagai orang tua hanya bisa mendo’akan saja. Sekali mohon maaf pada semuanya, terutama pada Bu Hasan dan keluarganya.”
Terakhir, Ustadz memanggil anak perempuannya Pak Hasan yang masih SMA untuk mendekat. Sebut saja Salma. Anak ini, tahu Bapaknya akan menikah lagi, ketika diberi kesempatan mengungkapkan perasaannya malah menangis. Rupanya, sejak tadi ia menahan perasaannya.
“Khuu… hu….hu…. hiks…hiks….hiks…. Salma mah terserah Mamah sama Bapak aja. Tapi Salma takut Ibu ini galak. Jangan galak aja sama Salma dan adik.”
Ustadz segera menenangkannya. Sambil mengusap-ngusap kepalanya, ia menjelaskan:
“Salma sayang,” ujar Ustadz, “Salma sudah besar. Salma juga harus tahu ya, biar Salma cepat dewasa mengetahui persoalan orang tua. Salma harus menerima kenyataan ini. Do’akan agar Mamah dan Bapak selalu dilindungi Allah yaa…. Agar semua keluarga ini berada dalam kebaikan. Nah, ini harus jadi contoh, bila suatu saat Salma mengalami hal seperti ini, caranya harus seperti ini. Ini yang benar menurut agama.”
“Iya, Pak Ustadz,” jawab anak itu.
“Alhamdulillah… semuanya pihak di keluarga ini, tidak ada yang terlewat, sudah mengetahui dan memberikan pandangan dan persetujuannya. Bapak-bapak dan ibu-ibu keluarga besarm Pak Hasan yang saya hormati, beginilah seharusnya pernikahan poligami dijalankan. Kalau begini prosesnya kan enak ya ngga? Pak Hasan mengutarakan niat baiknya secara terbuka dan baik-baik pada istrinya. Istrinya tahu, menerima dan mengizinkan. Calon istri mudanya bertemu dengan istri pertama, saling merelakan, saling mengerti dan saling mendo’akan. Insya Allah menjadi barokah buat semuanya. Orang tua dari ketiga orang ini pun semuanya mengetahui, diminta do’a restunya, anak pun diajak bicara dan diminta pendapatnya. Tidak barokah bagaimana pernikahan kalau dijalankan seperti ini? Betul tidak Pak? Bu? Kalau orang menjalaninya seperti ini, Insya Allah, poligami tidak akan menjadi masalah, tidak akan buruk dalam pandangan orang dan keluarga bahkan akann mendatang rahmat dan kasih sayang Allah.”
“Banyak orang melakukan poligami dasarnya nafsu, caranya tidak benar dengan sembunyi-sembunyi, membohongi istrinya, berdusta pada keluarganya, perhatian, pemberian dan kasih sayangnya tidak seimbang. Atau, suaminya jujur dan terus terang, istrinya menolak mentah-mentah, pokoknya tidak mau. Akhirnya suaminya menjalaninya dengan sembunyi-sembunyi. Begitu ketahuan, ribut, sakit hati dan cerai. Kacaulah rumah tangga karena jauh dari tuntunan agama. Atau, istrinya menolak dan minta cerai karena suaminya belum benar sebagai kepala keluarga, tidak memberikan pendidikan agama. Membimbing keluarga dan membahagiakan istrinya saja tidak, sudah ingin kawin lagi. Belum caranya pun salah, tujuannya hanya mengumbar nafsu, tidak terus terang, caranya menyakitkan istri dan seterusnya. Ya wajar istrinya marah, menolak dan minta cerai.”
Panjang lebar Ustadz Ahmad memberikan nasehatnya pada keluarga itu, sekitar satu jam. Soal keluarga, soal amanat, soal keadilan, soal tanggung jawab di akhirat, soal kepasrahan dan keikhlasan, pendidikan anak, rizki dll. Semuanya khidmat mendengarkan. Begitulah ia. Kalau sudah memberikan nasehat sulit berhenti. Kata-katanya terus mengalir. Nasihat-nasihatnya membuat kesadaran agama semakin mendalam, semakin terasa.
“Nah sekarang, tolong berdiri semuanya, berdiri melingkar,” pinta Ustadz Hasan lagi. Para orang tua itu kemudian berdiri berpasangan membentuk lingkaran.
“Pak Hasan, ibu dan Aisyah silahkan salaman berkeliling memohon do’a pada orang tua kita ini satu-satu, sungkem. Mintalah maaf atas kesalahan-kesalahan selama ini sebagai anak, mohonkanlah ampunan dan ridhanya. Mintalah restu akan menjalani rumah tangga baru dengan dua istri. Ayo Pak, Bu… dimulai oleh Pak Hasan.”
Pak Hasan diikuti istrinya dan calon istri keduanya menyalami mereka satu persatu. Dimulai kepada Utsadz Ahmad. Antara orang tua dan anak ini saling berangkulan dan berpelukan. Inilah puncak suasana yang paling mengharukan. Salaman dan pelukan mereka diiringi suara isak tangis. Saat bersalaman dan berangkulan satu persatu mereka semua tidak dapat menahan perasaannya. Akhirnya, semua yang hadir disitu tidak ada yang tidak menangis, semuanya menangis terharu. Ustadz Ahmad pun terisak menangis tak kuat dengan drama itu. Lingkaran itu adalah lingkaran tangisan dan banjir air mata. Semuanya tidak tahan mengekspresikan rasa harunya yang mendalam. Kedua anak Pak Ahmad pun sama. Bukan hanya suara isak tangis dan air mata, tapi kalimat-kalimat do’a dari para orang tua ini keluar dari mulutnya saat mereka merangkul anak-anaknya. Rangkulan dan tangis itu bukan hanya kepada Pak Hasan, bu Hasan dan Aisyah yang akan menjadi istri barunya, tapi juga antara para orang tua sendiri. Mereka saling merestui dan mendo’akan. Kalimat-kalimat do’a bergemuruh di ruangan itu, beterbangan naik ke angkasa, merobek langit dan membocorkan hujan rahmat dan ridha Allah ke rumah itu. Saat tangisan dan do’a para orang tua itu terungkap meridhai anak-anaknya, para malaikat penjaga ‘Arsy seolah pada berebut turun berhamburan menaburkan rahmat-Nya ke rumah itu.
Para orang tua itu sangat merasakan bahwa mereka adalah satu keluarga. Suasana sangat terasa penuh rahmat dan barokah. Yang paling tidak tahan rupanya Asiyah. Baru salaman ketiga, ia mulai lemas, keseimbangannya hilang dan tiba-tiba, “Gedebuk…. gupraak…!” ia jatuh pingsan. Orang-orang kaget. Ada suara tangisan yang mengeras, rupanya dari Ibu kandungnya sendiri. Ia segera memburu dan memeluknya, takut terjadi apa-apa pada anaknya. Tapi Ustadz Ahmad segera menenangkan.
“Biarkan…. Biar….. biarkan Bu!! Tenang saja. Tenang. Tidak apa-apa!! Ia hanya tidak tahan dengan suasana haru ini. Ibu tenang saja, tidak usah khawatir.”
Setelah beberapa menit dipangkuan ibunya, Ustadz melintaskan telapak tangannya di atas muka Aisyah, mengalirkan energi. Perempuan kemudian sadar kembali. Ustadz meminta memberinya minum. Ia dipapah dan didudukkan di kursi. Semuanya kemudian duduk kembali dengan mata yang pada memerah oleh air mata. Ustadz menenangkan mereka semua dan mengajak mereka bersyukur atas peristiwa yang penuh rahmat dan barokah Allah itu.
Setelah semuanya tenang dan meraih minumannya masing-masing, Ustadz berkata pada Pak Hasan:
“Naah… sekarang kembali ke Bapak nih. Bagaimana rencana bapak selanjutnya? Jangan dilama-lamakan mumpung suasananya masih hangat.”
Pak Hasan berfikir sejenak kemudian berkata:
“Ustadz, saya mungkin tidak bisa menyelenggarakannya buru-buru. Harus ada persiapan dulu.”
“Oh iyaa.. jelas.” Jawab Ustadz. “Begini saja, akadnya harus secepatnya. Kalau bisa besok. Toh yang diundang hanya keluarga saja dan tetangga dekat. Walimahnya boleh nanti lagi, minggu depanlah.”
“Kalau begitu bisa Ustadz. Insya Allah. Gimana Mah setuju? Neng?” Kata Pak Hasan melirik istrinya dan kepada Aisyah.
Kedua perempuan ini menganggukkan kepalanya. “Iya… terserah Bapak aja. Lagian mumpung ada Pak Ustadz disini, terserah Pak Ustadz saja.” Kata Bu Hasan.
“Terus kami ada permintaan nih. Tolooong…. Pak Ustadz tidak keberatan. Kami mohon Pak Ustadz menghadiri.” Pinta Pak Hasan. “Soalnya, Pak Ustadz ini, biasa.., begitu beres pengajian, tiba-tiba menghilang saja. Susah dicarinya.”
“Insya Allah… Saya akan hadir.”
Akhirnya disepakati, akad nikah diselenggarakan esok harinya. Pak Hasan diminta mengundang semua keluarga, tatangga-tetangga dekat, juga segera mengontak na’ib alias yang akan menikahkannya. Tempatnya di rumah itu juga. Ustadz malam itu tidak pulang, ia ditahan oleh Pak Hasan untuk menginap disitu. Biasanya, ia menolak dan mencari tajug atau langgar bilik yang sepi dan menghabiskan malamnya disitu dengan tidak tidur sampai pagi. Atau, biasanya ia mencari rumah gubuk fakir miskin yang dihuni sepasang kakek dan nenek. Ia bertamu dan menghibur mereka dengan obrolan agama dan nasehat. Ia memberikan uang yang ada disakunya untuk sekadar membeli beras dan ikan asin lalu menyantap bersama fakir miskin itu sambil akrab bercengkrama. Ia ikut mencuci piring, menyapu atau membantu mereka seadanya. Banyak pasangan kakek nenek menganggap tamunya ini orang aneh. Dandanannya orang kota tapi bertamu ke gubuk di kampung yang dihuni orang tua seperti mereka, mau ngobrol semalaman, memberikan nasehat dan mau tidur beralas tikar. Ada sepasang kakek nenek daerah Bandung selatan yang menyebutnya ‘malaikat’ karena keanehannya itu. Ia sangat merindukan orang aneh ini. Begitu datang lagi, kakek nenek itu memeluknya, menangis, karena merasa seperti kepada anaknya sendiri. Anaknya sendiri malah pada sibuk dikota jarang menemuinya. Begitulah, Ustadz itu lebih merasakan kenikmatan di tempat seperti itu daripada di rumah mewah tapi hawanya ia rasakan panas karena banyak dari uang dan harta mereka didapatkan dengan cara yang kotor dan tidak halal.
Esoknya, jam sembilan pagi, keluarga Pak Hasan dan para tetangga dekat sudah hadir. Setelah segalanya siap, acara akad pun dilangsungkan. Ustadz Ahmad sendiri yang diminta memberikan khutbah nikahnya. Pernikahannya sungguh mengharukan dan yang hadir pada berdecak kagum. Mereka tak habis pikir, bagaimana Pak Hasan menikah lagi dengan istri muda, bukan hanya direstui istrinya bahkan hadir dan mendampingi suaminya. Mereka tak habis pikir bagaimana pernikahan poligami bisa seperti itu. Mereka kagum kepada Bu Hasan bisa semulia itu sebagai istri. Tentu saja itu sebuah pemandangan luar biasa. Akhirnya, semuanya memuji Bu Hasan. Rasa kagum dan salut semuanya mengarah kepada Ibu itu. Ustadz pun mendengarkan semua keluarga dan tetangga memuji kesabaran dan ketabahannya sebagai istri. Ialah yang menjadi ratu dan primadona dalam acara itu. Selesai akad, semua orang menyalami mengucapkan selamat. Kekaguman mengalir kepada Bu Hasan atas kebesaran jiwanya. Ketika yang hadir bersalaman satu persatu, kembali isak tangis terdengar lagi. Sebuah pernikahan yang sangat mengharukan karena tampak tak seorang pun yang hadir tidak meneteskan air matanya.
“Buu… Ibu sungguh luar biasa. Sabar ya buu…. Ibu yang tabah ya Bu ….” Yang lain terdengar mendo’akan, “semoga Bu Hasan diberi kemuliaan di sisi Allah. Ibu…. Saya salut sama Ibu…” “Buu… Ibu sungguh luar biasa… jarang perempuan seperti ibu. Saya do’akan ibu kuat, sabar dan bahagia.” Mereka juga memuji Ustadz Ahmad. Mereka angkat topi pada ustadz muda itu bisa menghatur pernikahan poligami dengan proses sesempurna seperti itu. Seperti tadi malam, pernikahan itu dibanjiri do’a dan air mata oleh semua tamu undangan yang hadir.
* * *
Selesai acara, Ustadz dan keluarga baru itu berkumpul, ngobrol dan makan siang. Sebagian keluarga dan tetangga ada yang ikut ngobrol dan bertanya tentang riwayat pernikahan itu. Mereka penasaran dan tertarik ingin tahu. Sekitar dua jam kemudian, rumah itu sepi kembali. Maklum, yang hadir hanya keluarga dan tetangga dekat saja, jadi tamu tidak banyak. Ustadz Ahmad merasa tugasnya sudah selesai. Ia berpamitan akan pulang. Pak Hasan dan dua istrinya, orang tuanya, keluarganya dan semua orang yang masih ada, otomoatis berdiri semuanya dan mendekati Ustadz Ahmad. Wajah Pak Hasan tampak sumringah. Ia senang sekali. Bu Hasan sudah berkurang bebannya dan ia semakin bisa menerima. Dan Aisyah, sedang sibuk bekerja beres-beres membantu Bu Hasan. Ia masih tampak kaku di rumah itu. Ia masih sedang menyesuaikan diri dan mengatur perasaannya. Maklum, itu di rumah istri tuanya. Tapi, wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesenangannya. Ia tidak menyangka bayangan pernikahannya dengan Pak Hasan terwujud dengan cara penuh maslahat seperti itu. Ini semua tidak terbayang sebelumnya.
Semua keluarga itu tidak ada yang ketinggalan satu persatu mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga pada Ustadz Ahmad. Saat Ustadz tampak sedang berdiri siap-siap, Pak Hasan dan istrinya menghampirinya, mengucapkan kata terima kasih yang terakhir dan menyampaikan sesuatu: “Ustadz, mohon maaf saya tidak bisa memberikan apa-apa. Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya hanya bisa memberikan ini. Tidak besar sekadar untuk ongkos pulang. Mohon Ustadz menerimanya sebagai tanda terima kasih kami.” Sebuah amplop berisi uang Rp. 5 juta telah disiapkan Pak Hasan dan istrinya. Ustadz itu kaget. Mengetahui begitu, ia duduk lagi dan berkata:
“Pak, Bu, bukan untuk ini saya datang kesini dan membantu bapak dan ibu. Saya sama sekali tidak mengharapkan ini.”
“Tapi, Pak Ustadz …. Ini sekadar ongkos saja. Bukan hadiah atau apa, karena kami tahu, ustadz selalu menolaknya.”
“Sudahlah Pak.” Ustadz segera memotongnya, ia tahu Pak Hasan akan memaksanya agar ia menerimanya.
“Pak, ada orang-orang yang lebih berhak atas uang ini daripada saya. Siapa? Tuuh… orang-orang yang tidak mampu di sekeliling Bapak. Mereka tinggal dekat dan bertetangga dengan bapak. Maaf Pak saya tidak bisa menerimanya.”
“Sudah … begini saja,” Ustad itu menyambungnya, “agar pernikahan ini lebih barokah lagi, agar masyarakat disini mendo’akan keluarga bapak, agar keluarga bapak selamat dan bahagia, begini. Uang ini saya terima, tapi saya mohon bantuan Bapak, Ibu dan Aisyah ya? Tolong Bapak, Ibu dan Aisyah berkeliling ke tetangga-tetangga dan bagikan ini kepada mereka. Yang dekat jangan ada yang terlewat, tapi utamakan keluarga yang tidak mampu dulu. Besar kecilnya terserah silahkan diatur. Mau kan Pak? Bu?” pinta Ustadz, “Ini permintaan saya demi kebaikan bapak ibu semua.”
“Tidak …. Tidak… Pak Ustadz,” Pak Hasan keberatan. “Begini. Mereka itu sudah, sudah ada bagiannya. Tenang Ustadz… Ustadz tidak usah memikirkan itu, saya tahu. Nanti mereka ada bagiannya. Ini benar-benar untuk Ustadz, tolong diterima sebagai ucapan terima kasih kami.”
“Paak….. “ seru Ustadz Ahmad lagi, “Iyaa…. saya menerimanya dan saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan Bapak dan Ibu. Saya tidak menolaknya. Saya menerimanya nih. Tapi, saya ada permintaan pada Bapak dan Ibu. Tolong Bapak dan ibu bagikan uang ini kepada orang-orang miskin dan tetangga yang ada disini. Bapak dan Ibu mau tidak membantu saya?”
Dijelaskan begitu, pengantin baru tidak berdaya. Tidak ada pilihan lain kecuali menuruti permintaannya.
“Yaa… baiklah kalau begitu Ustadz, kami akan melakukannya.” Kedua istrinya pun, menyadari itu sebuah kebaikan, sama-sama bersedia.
“Pak tolong sekarang juga!”
“Sekarang Ustadz?”
“Ya. Mumpung pernikahan bapak masih hangat, tetangga itu semua akan senang dan mendo’akan bapak dan ibu dengan shadaqah ini. Insya Allah, ini akan menjadi barokah buat pernikahan bapak ini. Saya akan menunggu disini, tidak akan pulang sebelum Bapak dan Ibu selesai membagikannya.”
Tak berfikir lagi, mereka setuju. Mereka siap melakukannya. Ketiganya segera keluar rumah berjalan kaki beriringan. Sebuah pamandangan yang sangat indah sedang berlangsung. Pihak keluarga semua dan beberapa tetangga menyaksikannya. Sebuah pengantin baru poligami, berjalan bertiga beriringan. Suami diiringi kedua istrinya yang tua dan yang muda, berbusana muslimah, berjalan kaki membagikan shadaqah berkeliling ke tetangga-tetangganya. Ustadz Ahmad tersenyum puas menyaksikan shooting itu. Keluarga yang dirumah pun sama, senang dan gembira dengan pemandangan itu. Mereka semua menyaksikan dengan tersenyum pengantin hangat itu berjalan mesra sedang beramal atas dorongan Ustadz Ahmad. Semua berfikir, pastilah pengantin itu pengantin yang bahagia dan akan terus bahagia.
Setelah selesai semuanya, barulah Ustadz pamitan pulang. Pemandangan haru tak disangka terjadi lagi. Tak tahan “malaikat” itu akan pergi meninggalkan mereka, ketiga pengantin itu tanpa pikir-pikir memeluk Ustadz muda yang duda itu satu persatu sambil menangis. Mereka sangat sedih dengan kepulangannya. Pelukan itu kemudian diikuti oleh seluruh anggota keluarga yang lain, satu persatu. Tetangga-tetangga yang melihat adegan itu di halaman rumah Pak Hasan, kemudian pada datang dan memburu Ustadz muda itu. Mereka juga tidak ketinggalan, semuanya memeluk, sedih, mendo’akan, memuji dan ada juga yang meneteskan air mata.
Ustadz Ahmad segera menenangkan agar tidak sedih berlebihan. Ia menegaskan ia bukan siapa-siapa. Ia hanyalah orang biasa, kenapa harus sedih. Dan, ia pun toh hanya pulang ke sementara, nanti akan datang lagi. Yang datang, sedih, mengucapkan terima kasih dan menangisinya ternyata banyak sekali. Tetangga itu terus berdatangan satu persatu. Apalagi, jama’ah pengajiannya. Begitu mengetahui Ustadznya akan pulang mereka serentak saling memberi tahu, berkumpul dan menemuinya. Ustadz itu serasa menjadi selebriti. Ia merasakan haru dan sedih juga tapi harus pergi.
Ustadz itu mulai berjalan dan terus berjalan diiringi lambaian tangan masyarakat dan jama’ahnya. Ketika ia membalikkan badannya pada jarak sekitar 15 meter untuk melambaikan tangan terakhir sebelum ia belok, ustadz itu kaget juga, yang hadir dan melepas kepergiannya diperkirakan lebih dari seratus orang. “Masya Allah, banyak juga,” pikirnya. Ia terus berjalan.
Sambil berjalan, ia merenung, sungguh tak menyangka akan melewati peristiwa drama mengharukan itu. Semuanya terjadi mengalir begitu saja, diawali ketika Pak Hasan mulai curhat kepadanya. Seperti dalam pengajian-pengajian rutinnya, jawaban-jawaban pemecahan masalah itu datang otomatis begitu saja ke dalam hatinya saat Pak Hasan mulai bertanya mengadukan masalahnya. Sambil terus berjalan,“aaaakhh….” pikirannya menerawang, wajahnya menatap langit, kedua tangannya ia angkat ke atas, menarik nafas panjang, “Yaa Allah, terima kasih. Semuanya Engkau yang mengatur.”
Bandung, 8 Januri 2009
Dari obrolan seru Ustadz Ahmad dengan penulis
sambil bercengkrama dan minum kopi panas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar